Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.

20 Oktober 2009

PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia

V. Indonesia Seusai Perang Dunia Kedua

Kalahnya fasisme Jepang dalam Perang Dunia kedua memberi kesempatan bagi rakyat-rakyat Asia bangkit merebut kemerdekaan nasional. Dalam keadaan Jepang sudah menyerah kalah, maka para penguasa kolonial Inggeris, Belanda, Perancis, Portugis menjadi sasaran. Gerakan untuk kemerdekaan yang sudah ada sebelum dan selama berlangsungnya Perang Dunia kedua menjadi berkobar menyusul menyerahnya kekuasaan fasis Jepang kepada Sekutu di Asia.
Selama dan seusai Perang dunia kedua, dengan syarat-syarat sejarah dan kondisi yang berbeda, bermunculan partai-partai komunis di banyak negeri Asia. Dalam dokumen gerakan komunis internasional, yaitu Pernyataan 81 Partai Komunis dan Partai Buruh tahun 1960, terdapat tanda tangan wakil-wakil partai negeri-negeri Asia: dari Tiongkok, Korea, Vietnam, India, Indonesia, Thailand, Birma, Malaya, Filipina, Nepal, Sri Langka, dan Jepang.

Sesudah pemberontakan bersenjata melawan penjajahan tahun 1926, Belanda melarang dan memenjarakan semua pimpinan PKI. Banyak yang dihukum mati. Di antara pimpinan pemberontakan yang dihukum gantung terdapat Egom, Hasan dan Dirdja di Jawa Barat. Si Patai dan Simanggulung di Sumatera Barat. Dan sebanyak tiga ribu lebih kader dan anggota PKI dibuang ke Boven Digul. Tidak kurang dari 20.000 orang dari seluruh Indonesia yang ditangkap. Rumah-rumah penjara di Banten, Jakarta, Bandung, Sukabumi, Tasikmalaya, Tegal, Surakarta, Kediri, Surabaya, Sumatera Barat dan lain-lain penuh sesak. (Lembaga Sejarah PKI 1965: Manuskrip). Ada yang diusir ke luarnegeri. Partai Komunis dilarang, bermunculan partai-partai menganut nasionalisme dan yang berdasarkan Islam.

Dalam proses pembangunan nasion dan nasionalisme Indonesia, tak henti-hentinya Bung Karno menganjurkan persatuan bangsa. Pada tahun 1926 berlangsung pemberontakan bersenjata di bawah pimpinan PKI. Tahun itu Bung Karno memaparkan gagasan bersejarah dengan karya besar Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yaitu kerjasama dan persatuan tiga golongan penganut nasionalisme, penganut Islam dan penganut Marxisme. Dan tahun 1928 pemuda Indonesia bangkit dengan menyelenggarakan Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda; Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Kolonialisme Belanda juga menindak dan memenjarakan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Maka Bung Karno, Bung Hatta, Soetan Sjahrir pun diasingkan ke pembuangan. Tetapi pergerakan untuk kemerdekaan nasional tidaklah padam. Dari pembuangan, Bung Karno tetap mengobarkan semangat rakyat untuk kemerdekaan.

Sesudah meninggalkan PKI, Tan Malaka menampilkan gagasan mengenai masa depan Indonesia dalam brosur Naar De Republiek Indonesia – Menuju Republik Indonesia. Dan Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia, PARI. Karena gagasan ini, Muhammad Yamin menjuluki Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia. Gagasan Tan Malaka juga berkembang menjadi penggabungan Asia dan Australia dengan membentuk Republik Aslia – Republik Asia Australia. Tan Malaka mengambil sikap tidak melawan fasisme Jepang, menggunakan kesempatan Jepang berkuasa untuk kepentingan kemerdekaan.

Musso yang pulang dari Moskow tahun 1935 berhasil menghimpun kembali kader-kader PKI yang masih ada, dan membentuk CC PKI illegal. Semenjak pembentukannya, sudah dicanangkan bahaya fasisme Jepang yang sedang mengancam Indonesia.
Tak lama sesudah kaum Nazi naik panggung, di Jerman terjadi peristiwa pembakaran gedung Reichstag, gedung Parlemen. Penguasa Nazi mengkambing-hitamkan komunis. Tahun 1933 Georgi Dimitrov, tokoh komunis Bulgaria dan Komintern yang berada di Jerman dituduh tersangkut dengan pembakaran ini. Dia diajukan ke depan pengadilan fasis. Dalam pengadilan, Dimitrov berbalik dari tertuduh menjadi penggugat fasisme, hingga dia bebas dari tuntutan. Dalam Kongres ke-VII Komintern (organisasi komunis internasional) di Moskow tahun 1935 Dimitrov menganjurkan pembentukan front anti-fasis di semua negeri. Pengaruhnya sampai ke Indonesia. Laporan Dimitrov dan keputusan Kongres ke-VII Komintern menyatakan bahwa fasisme berarti perang. Diserukan agar rakyat sedunia bersatu melawan fasisme dan melawan perang. (Dutt, Rajani Palme 1966: 221-226). Kekuasaan fasis Jerman, Itali dan Jepang menggalang Pakta Anti-Komintern, dengan tujuan membasmi Uni Republik Sovyet Sosialis. Pembasmian kaum komunis adalah tindakan penting pertama yang dilakukan oleh negara-negara fasis Jerman, Itali dan Jepang.

Untuk melawan bahaya fasisme yang mengancam dunia, Komintern menyerukan penggalangan front persatuan anti-fasis. Sebagai anggota Komintern, sebelum masuknya fasis Jepang ke Indonesia, CC PKI telah giat melakukan gerakan propaganda anti-fasis. Mendorong dan membantu pembentukan organisasi Gerindo, Gerakan Rakyat Indonesia. Diantara tokoh-tokoh pimpinannya terdapat Mr Amir Sjarifoeddin, Dr A.K.Gani, Mr Sartono, Mr Muh. Yamin dan lain-lain. Melalui Gerindo, PKI mengajukan tuntutan-tuntutan politik kepada pemerintah Hindia-Belanda antara lain: “Mendirikan milisia Indonesia”, “Indonesia Berparlemen”, “Stop impor dari Jepang”, “Jangan jual besi tua kepada Jepang”.
Berkat kerjasama dengan berbagai organisasi lainnya, Gerindo berhasil membangun badan kerjasama dengan nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939. GAPI berhasil menyelenggarakan Kongres Rakyat Seluruh Indonesia tanggal 23-25 Desember 1939. Dalam Kongres ini diperbincangkan masalah pentingnya mendirikan Parlemen Indonesia. Parlemen Indonesia dianggap penting untuk menghimpun kekuatan rakyat buat melawan bahaya fasisme Jepang. Dalam Kongres Rakyat ini diajukan fikiran untuk menjadikannya Majelis Rakyat Indonesia sebagai persiapan untuk pembentukan Parlemen Indonesia. Diajukan ajakan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk bekerjasama buat melawan bahaya fasisme Jepang. Ajakan ini dianggap sepi dan tidak dipedulikan Belanda. “Awal tahun 1942 Pemerintah Belanda malah menangkap sejumlah tokoh pergerakan rakyat dan pemuda Indonesia termasuk diantaranya A.M.Sipahutar, Wikana, Asmara Hadi, S.K.Trimurti, Inu Kertapati, Sidik Kertapati. Mereka diinternir di Garut dan direncanakan akan diangkut ke Australia melalui Cilacap. Tapi karena pelabuhan Cilacap dibom Jepang, rencana Belanda ini gagal”. (Lembaga Sejarah PKI 1965: Manuskrip).
Memenuhi anjuran Komintern, dengan menggerakkan berbagai kadernya, PKI berhasil mendorong pembentukan organisasi Gerakan Rakyat Anti Fasis (GERAF) di Jakarta pada akhir tahun 1939. Tokoh-tokoh yang ikut dalam pembentukannya ini adalah Widarta, Tjokrodjokosoejono, Dr Tjiptomangunkusumo, Dr Liem Koen Hien, Armunanto, Dr Ismail dan lain-lain. Jaring-jaring organisasi GERAF meluas ke berbagai kota besar dan kota-kota lainnya. Kerjasama anti-fasis dilakukan dengan semua kekuatan yang menentang fasisme. Demi melawan bahaya fasisme, Amir Sjarifoeddin pun bekerjasama dengan Van der Plas.
Akhirnya, pasukan Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia awal Maret tahun 1942. Pemerintah Belanda diwakili Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenbourgh menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang diwakili Jenderal Imamura pada 9 Maret 1942.

Dalam Perang Dunia kedua, kaum komunis di semua negeri Asia berjuang bersama kekuatan anti-fasis yang ada di negeri itu, melawan fasisme dan untuk kemerdekaan nasional. Kekuasaan fasis Jepang mencium gerakan yang dipimpin kaum komunis, hingga tokoh-tokoh utama PKI tertangkap dan dihukum mati. Diantaranya adalah Pamoedji, Soekajat, Azis, Sjaifoellah, Abdoerrachim. Amir Sjarifoeddin ditangkap, dipenjarakan, divonis hukuman mati. Berkat pembelaan Bung Karno, vonis hukuman mati diubah jadi seumur hidup. Sesudah proklamasi kemerdekaan, dapat dibebaskan dari penjara.

Titik-balik peperangan terjadi di Asia dengan berlangsungnya serangan Tentara Merah Sovyet memasuki Mancuria, Tiongkok Timur sampai semenanjung Korea. Sebelum pasukan Sovyet sempat menduduki Jepang, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagazaki. 14 Agustus 1945 kekuasaan fasis Jepang bertekuk lutut. Rakyat Indonesia bangkit merebut kemerdekaaan nasional.

Menjelang berakhirnya perang dunia kedua, para pemimpin gerakan rakyat Indonesia sudah bangkit mempersiapkan diri untuk kemerdekaan. Dengan pedato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan lima prinsip bagi dasar negara Indonesia, yaitu 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial, 5. Ketuhanan. Akhirnya Pancasila menjadi dasar NKRI, dicantumkan dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suaru Undang Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada ketuhanan yang mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. (Yamin, Mr. Muhammad 1952: 17). Maka tersusunlah dasar negara republik Indonesia. Pancasila mempunyai ciri kepribadian Indonesia. Ia berbeda dengan semboyan revolusi burjuis Perancis: Kemerdekaan, Persamaan, Persaudaraan; berbeda dengan San Min Chu I ajaran Dr. Sun Yatsen: Nasionalisme, Kedaulatan Rakyat, Kesejahteraan Rakyat; berbeda dengan Catursila Konstitusi 1949 negara India: Keadilan, Kemerdekaan, Persamaan, Persaudaraan dan berbeda pula dengan Lima Rukun Negara Malaysia: Berkepercayaan kepada Tuhan, Setia kepada Raja dan Negara, Menghormati Konstitusi, Mentaati Undang-Undang, Mentaati norma-norma moral.
Pancasila mempunyai arti sejarah, karena lahir pada saat menjelang meletusnya revolusi Agustus 1945. Dengan didasari gagasan-gagasan mengenai persatuan bangsa yang dalam tahun 1926 sudah dipaparkan Bung Karno dalam karyanya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, diperkuat lagi oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika – Berbeda, tapi satu jua – warisan ajaran Empu Tantular yang dicantumkan pada lambang negara Garuda Pancasila, maka Pancasila mempunyai kekuatan menyatukan nasion Indonesia yang terdiri dari banyak suku-bangsa, penganut banyak aliran politik dan penganut banyak agama serta kepercayaan.

Kemajuan revolusi bersenjata di Tiongkok di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok dengan Ketuanya Mao Zedong, di Vietnam dibawah pimpinan Partai Komunis Indocina dengan pimpinan Ho Chi Minh, di Korea dibawah pimpinan Kim Il Sung sangat menggelisahkan Presiden Truman. Masa itu adalah permulaan periode pelaksanaan Doktrin Truman, the policy of containment, -- politik membendung komunisme sejagat. Proklamasi kemerdekaan Indonesia disusul oleh perjuangan bersenjata membela Republik Indonesia dari serangan kolonialisme Belanda yang ingin mengembalikan jajahannya. Konflik Indonesia Belanda menjadi perhatian Amerika Serikat. Liwat penyelesaian konflik ini, Amerika dapat kesempatan masuk campur tangan mengenai masalah Indonesia.

Peranan kaum komunis Indonesia dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional tak dapat dihilangkan dari sejarah. Semenjak kabinet pertama yang dibentuk Bung Karno, terdapat Bung Amir Sjarifoeddin, seorang tokoh komunis sebagai Menteri Penerangan. Kemudian beliau menjabat Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri.
Kabinet Sjahrir melangsungkan perundingan dengan wakil Belanda. Januari 1946 tercapai persetujuan Linggarjati. Dalam pada itu, Belanda tetap berusaha keras memperluas daerah pendudukannya, hingga selalu terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata. 26 Juni 1947 kabinet Sjahrir ke III mengundurkan diri karena tentangan keras atas beleidnya yang memberi konsesi terlalu besar pada Belanda, yaitu “mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia selama masa peralihan, akan tetapi dalam pada itu mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam”. 30 Juni 1947 Sjahrir meletakkan jabatan. Presiden Sukarno menugaskan team formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis), A.K.Gani (PNI), Sukiman (Masjoemi), dan Setiadjid (Partai Buruh Indonesia) membentuk kabinet. Karena tuntutan Masjoemi untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Kementerian Dalam Negeri dan dua kursi lainnya ditolak oleh para anggota formatur, gagallah pembentukan kabinet. Mandat diserahkan kembali kepada Presiden. Dan Presiden menunjuk lagi Amir Sjarifoeddin, A.K.Gani dan Setiadjit untuk jadi team formatur.

3 Juli 1947 terbentuk kabinet Amir Sjarifoeddin tanpa wakil Masjoemi, tapi mengikutkan wakil PSII. Amir Sjarifoeddin menjadi Perdana Menteri. Dengan mengikutkan wakil-wakil partai-partai Partai Sosialis, PKI, Partai Buruh Indonesia, PNI, PSII, Partai Kristen, Golongan Tionghoa dan tokoh tak berpartai. Dalam kabinet Amir terdapat beberapa Menteri komunis: Drs. Setiadjid, Mr. Abdoelmadjid, Wikana, Maruto Darusman. Suripno menjadi Duta Keliling Indonesia di luarnegeri.
Sesungguhnya, Kabinet Amir merupakan kabinet koalisi nasional yang kuat, dengan unsur kekuatan berasal dari Partai Sosialis 6 kursi, PNI 7 kursi, PBI 4 kursi, PSII 3 kursi, Non Partai 5 kursi, Parkindo, PKRI, SOBSI, golongan pemuda dan golongan Tionghoa masing-masing satu kursi. Program politik luarnegeri kabinet Amir adalah 1. Mempertahankan pengakuan de facto Negara Repuiblik Indonesia, 2. Berusaha sekuat-kuatnya melaksanakan secara damai Persetujuan Linggarjati, 3. Berusaha agar Indonesia secepat mungkin harus ikut serta dalam persoalan hidup internasional sesuai dengan kepentingan kedudukannya dalam dunia.
Pemerintah Amir segera mengadakan kontak diplomatik dengan Belanda. Dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda ini, Perdana Menteri Amir sangat percaya terhadap bantuan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam pedatonya 6 Juli 1947, dia menyerukan agar seluruh pengaruh Amerika dipergunakan untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Kabinet Amir percaya, bahwa Amerika sendiri mempunyai kepentingan di Indonesia, yaitu Amerika menganggap keamanan di Indonesia sebagai faktor penting untuk stabilitas politik dan ekonomi dunia. Sesungguhnya, Amerika merasa takut, seandainya pengaruh komunis makin meluas di Asia Tenggara.
15 Juli 1947 berlangsung perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda dalam suasana akrab. PM Amir Sjarifoeddin dan rekan-rekannya menerima kedua usul Belanda menjadi pokok perundingan. Dalam langkah-langkah diplomatik yang dijalankan Pemerintah Amir, telah diberikan konsesi yang sangat banyak kepada Belanda, kecuali dengan tegas menolak usul gendarmerie bersama. Sikap Pemerintah Amir menolak gendarmerie bersama ini didukung oleh Badan Pekerja KNIP. Tatkala perundingan masih terus berjalan, 21 Juli 1947 Belanda secara tiba-tiba menggunakan kekuatan militernya yang dipersenjatai dengan bantuan Amerika, menyerang daerah Republik Indonesia, dari darat, laut dan udara. Pertempuran berkobar di semua front. Di Jakarta, Belanda menduduki Kantor-Kantor Republik Indonesia, menangkap anggota-anggota delegasi yang berunding dengan Belanda, yaitu wakil Perdana Menteri A.K.Gani, Menteri Muda Luarnegeri Tamzil, Walikota Jakarta Suwirjo, Sekretaris Kabinet Ali Budiardjo.
Dalam berkobarnya pertempuran di semua front., wakil-wakil Australia dan India mengajukan masalah ini dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semenjak hari pertama perdebatan, 1 Agustus 1947, wakil Belanda Van Kleffens menyatakan bahwa masalah Indonesia adalah sepenuhnya soal dalam negeri Belanda, maka Dewan Keamanan tidak berhak membicarakannya.

Indonesia dilanda perang kolonial, yang kemudian terkenal sebagai agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Menghadapi berlangsungnya pertempuran di Indonesia ini, di forum PBB, pada Agustus 1947, Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) – komisi jasa-jasa baik – sebagai perantara. Terbentuklah Komisi yang terdiri dari wakil-wakil Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Dengan menganggapnya sebagai sahabat, Indonesia memilih Australia. Belanda memilih Belgia dan Amerika yang menjadi Ketua Komisi dipilih oleh Australia dan Belgia. Bagi Amerika, Belgia adalah mitra yang tak dapat ditinggalkan dalam melaksanakan rencana-rencananya. “Belgia adalah sekutu utama bagi Amerika dalam melaksanakan dan mendukung tujuan-tujuan baru ekonomi Amerika di Eropa dan dunia, yang tercermin dengan jelas pada negara-negara Benelux” (Laurent, Paul-Henri 1986: 27). Australia diwakili Richard Chritchley Kirby, Belgia oleh Paul van Zeeland. Sebagai Ketua Komisi adalah Dr Frank Porter Graham, yang sejak semula bersikap menekan pimpinan Republik Indonesia, agar memberi bermacam konsesi kepada Belanda. Menurut pengakuan Dr Soekiman, “Prof. Dr Frank Graham adalah kenalannya persoonlijk”. (Wirjosandjojo, Dr. Soekiman 1984: 191). Dengan demikian, Amerika telah punya sahabat andalan untuk langsung memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang menjadi benang merah politik luarnegeri Amerika pasca Perang Dunia kedua segera merasuk ke Indonesia

Dengan terbentuknya Komisi Tiga Negara, Amerika jadi menduduki kedudukan penting dalam memperantarai penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Dalam KTN Amerika dapat sekutu andalan, Belgia. Pada mulanya tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai tempat melakukan perundingan. Australia mengusulkan Singapura sebagai tempat bekerjanya Komisi. Tapi ditolak oleh Belanda. Akhirnya Amerika mengusulkan kapal pengangkutan Renville sebagai tempat perundingan. 2 Desember 1947 Kapal Renville merapat di perairan Jakarta. (De Gruyter, Johannes 2003-2004 ).Sikap Belgia mengenai masalah Indonesia tidaklah secara langsung dipengaruhi oleh ketakutan akan ekspansi Uni Sovyet, akan infiltrasi komunis di Indonesia atau ketakutan akan komunisme.
Sesudah terbentuknya kabinet Amir Sjarifoeddin, Amerika Serikat mencatat, bahwa walaupun Perdana Menteri Indonesia adalah Amir Sjarifoeddin yang komunis, dan sejumlah Menteri dalam kabinetnya terdapat tokoh-tokoh komunis, tapi di lain fihak terdapat oposisi berupa kekuatan anti-komunis yang semakin kian tumbuh di Indonesia. Partai Islam Masjoemi dan golongan sosialis di bawah pimpinan Soetan Sjahrir serta kekuatan yang dipimpin Tan Malaka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak bersimpati terhadap Uni Sovyet, bahkan anti-PKI. Dengan demikian, sudah ada syarat-syarat untuk menghadapkan kaum komunis Indonesia berlawanan dengan kekuatan anti-komunis Indonesia sendiri. Amerika tinggal memainkan peranan memberi arah perkembangan situasi, untuk menciptakan syarat demi pelaksanaan “the poilicy of containment”
Jika di Itali dalam melaksanakan the policy of containment, Amerika mendapatkan Partai Kristen Demokrat, maka di Indonesia terdapat Partai Islam, Masjoemi yang memang bersikap sangat tegas sejak semula: anti-komunis, anti-URSS, anti-Marxisme, anti-Leninisme, anti sosialisme dan pro Amerika Serikat. Masjoemi menjadikan agama Islam sebagai dasar untuk menentang komunisme. Anti-komunisme dicantumkan dalam Urgensi Program Masjoemi. Tokoh Masjoemi, M.Isa Anshary menulis: “MASJOEMI singkatan dari Madjlis Sjura Muslimin Indonesia adalah suatu Partai Politik Islam yang dibangunkan pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Akbar Ummat Islam di Jogjakarta, memperjuangkan keyakinan politik Islam ialah melaksanakan Ajaran dan Hukum Islam dalam masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Maka sesuai dengan tujuannya hendak melaksanakan Ajaran dan Hukum Islam itu, ia menolak dan menantang segala keyakinan hidup yang berlawanan dengan keyakinannya. Ia menolak dan menantang aliran dan ideologi Komunisme sebagai lawan dan musuhnya nomor satu.”. 8). (Anshary, M.Isa tt: 3). Dengan demikian, Amerika mendapatkan sekutu atau teman sehaluan di kalangan Islam dengan inti Masjoemi dalam melaksanakan “the policy of containment”-nya di Indonesia.

Menghadapi tugas-tugas perundingan dengan Belanda, yang diperantarai KTN, Amir Sjarifoeddin bermaksud memperkuat dukungan bagi delegasi Indonesia. Untuk itu, Amir Sjarifoeddin mengajak lagi Masjumi masuk kabinet. Masjoemi menerima tanpa mengajukan tuntutan apa pun. Maka terjadilah reshuffle kabinet hingga susunannya menjadi: Partai Sosialis 7 kursi, PNI 8 kursi, PSII 3 kursi, Masjoemi 5 kursi, PBI 4 kursi, PKRI 1 kursi, Parkindo 1 kursi, Non Partai 4 kursi, SOBSI 1 kursi, golongan Tionghoa 1 kursi dan golongan pemuda 1 kursi. Salah seorang wakil Perdana Menteri dijabat oleh wakil Masjoemi Mr Samsoeddin. 13 November 1948 Masjoemi menyatakan mendukung Kabinet Amir Sjarifoeddin sesudah mendapat kedudukan kursi beberapa Menteri dan Wakil Perdana Menteri. Dengan demikian, selain dari Sayap Kiri yang terdiri dari Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Buruh Indonesia (PBI), Kabinet Amir Syarifoeddin mendapat juga dukungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), dan dua Partai Islam, yaitu Masjoemi dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

6 Desember 1948 secara resmi dibuka perundingan di kapal Amerika Serikat USS Renville, di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, Wakil Ketua Ali Sastroamidjojo, anggota-anggota Soetan Sjahrir, Dr Tjoa Siek Ien, Mr Nasroen, Ir Djuanda, anggota cadangan Setiadjid, penasehat 31 orang. Di dalamnya terdapat wakil-wakil Masjoemi dan PNI. Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wirjoatmodjo; Wakil Ketua: H.L.K.F. van Vredenburgh; tujuh anggota; dua orang sekretaris dan tiga pembantu.
Dalam proses berlangsungnya perundingan, Belanda tetap menjalankan aksi-aksi militernya. Sementara itu Belanda mulai membentuk Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Timur dan Negara Indonesia Timur. Daerah-daerah ini masih termasuk ke dalam daerah kedaulatan Republik Indonesia. Ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan Republik Indonesia. Karena merasa kuat di bidang militer, Belanda bersikeras dengan pendiriannya dalam perundingan. Bahkan mengancam dengan ultimatum, agar Indonesia menerima 12 prinsip politik yang diusulkannya. Menghadapi sikap Belanda ini, KTN di bawah pimpinan Frank Graham menambahkan 6 pokok tambahan sebagai jalan kompromi agar Indonesia menerima usul Belanda. Di dalamnya termasuk rencana pelaksanaan pemungutan suara, berupa plebisit. Dalam keadaan terdesak oleh batas waktu ultimatum Belanda, rombongan KTN datang ke Yogya menemui pimpinan tertinggi Republik Indonesia. Agar dapat berlangsungnya pertemuan itu, Perdana Menteri Amir terbang ke Singapura menjemput Soetan Sjahrir, kemudian ke Pekanbaru menjemput Wakil Presiden Hatta. Maka KTN ditemui oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin serta Soetan Sjahrir dan Hadji Agoes Salim. Dicapai saling pengertian, bahwa pada akhirnya akan diselenggarakan pemungutan suara sebagai penyelesaian terakhir sengketa Indonesia-Belanda. Para politisi Indoneia yang mengutamakan menempuh jalan diplomasi, menganggap 6 pokok tambahan dari KTN itu dapat menguntungkan Republik, yaitu punya harapan dengan rencana diadakannya plebisit.

Dalam keadaan Indonesia diultimatum dengan ancaman serangan militer Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, akan tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit di kemudian hari. Karena itu, Bung Karno tampil dengan semboyan baru: “From the bullet to the ballot”. Berkat saling pengertian ini, maka 17 Januari 1948, tercapai Persetujuan Renville, yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin.
Menurut catatan L.Fischer, pembantu Menlu Dean Rusk mengenai urusan PBB, Belanda akhirnya baru menerima 6 pokok tambahan dari KTN sesudah Menlu Amerika George Marshall “secara terang-terangan menyatakan kepada Belanda, pandangan pribadinya”, bahwa dia takut akan berlanjutnya ketidak-stabilan, dan sikap bersikeras “hanyalah bisa membawa Indonesia ke bawah komunisme”. (Fischer, L.1959: 104-105). Dari sini jelaslah, bahwa masalah penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, ditinjau Amerika dari pandangan bahaya menghadapi meluasnya pengaruh komunisme. Inilah titik-tolak realisasi “the policy of containment” dalam praktek. Dengan demikian, Perang Dingin telah merasuk ke Indonesia.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Panglima Besar Sudirman menerima Persetujuan Renville ini. Presiden Sukarno menyatakan: “Meskipun perjanjian penghentian permusuhan ini seakan-akan merugikan Republik, akan tetapi dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang akan menguntungkan Republik. Jika kita dapat mencapai cita-cita kita dengan melalui jalan damai, buat apa kita harus berperang ?”

Sesudah Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin menandatangani Persetujuan Reville, tanpa terduga-duga sama sekali, Masjoemi menolak Persetujuan Renville dan menarik semua Menterinya dari kabinet. Pimpinan Masjoemi antara lain menyatakan, bahwa 1. Situasi Republik sangat tidak stabil, 2. Kabinet yang sekarang harus secara radikal diubah. Ketua fraksi Masjoemi dalam KNIP pada konferensi pers menyatakan, bahwa Persetujuan Renville itu adalah masalah kedua; yang pertama adalah masalah mengganti kabinet. 15 Januari 1948, Masjoemi menarik Menteri-Menterinya dari kabinet, karena tidak setuju dengan “gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang dijalankan oleh Pemerintah Amir”. Mundurnya Masjoemi dari kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII Yogyakarta, yang menuntut pengunduran diri Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri; menuntut pembentukan kabinet presidentil dan menolak Amir sebagai Perdana Menteri. Amir Sjarifoeddin sangat kecewa dengan sikap Masjoemi ini, karena wakil Partai ini ikut dalam proses perundingan. 23 Januari 1948 Amir Sjarifoeddin menyerahkan mandat kepada Presiden.
Dengan mundurnya Amir Sjarifoeddin, tercapailah maksud yang terkandung dalam the policy of contaiment, yaitu penggulingan pemerintah yang dipimpin komunis. Inilah langkah pertama untuk menyingkirkan kaum kiri selama-lamanya dari Pemerintah Indonesia, yang dicita-citakan Amerika Serikat. Setelah Amir Sjarifoeddin mundur, Presiden Sukarno menugaskan Wakil Presiden Hatta segera membentuk kabinet.


******

2 komentar:

  1. salam sosialis!!
    kunjungan perdana dan berharap kesedianya berkunjung ke gubuk saya

    BalasHapus
  2. salam sosialis!!
    kunjungan perdana dan berharap kesedianya berkunjung ke gubuk saya

    BalasHapus

Arsip Blog