Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.

20 Oktober 2009

PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia

VIII. Pelaksanaan Program Rasionalisasi Kabinet Hatta.

Kabinet Hatta dengan tangguh melaksanakan program Rasionalisasinya. Terjadi pertentangan tajam di dalam kekuatan bersenjata, antara yang mendukung dan menentang program ini. Pada permulaan bulan Juli 1948, komandan Divisi IV, kolonel Sutarto dibunuh dengan tembakan dari belakang. Kolonel Sutarto termasuk salah seorang perwira tinggi yang tidak menyetujui “rasionalisasi”.

Pada tanggal 1 September 1948 terjadi penculikan atas dua orang anggota PKI, Slamet Widjaja dan Pardijo. Mereka didatangi oleh seorang dari bagian penyelidik bernama Alip Hartojo. Alip Hartojo adalah sahabat karib dari Slamet Widjaja. Alip Hartojo antara lain mengatakan kepada Slamet Widjaja: “Awas, orang-orang PKI dan termasuk orang-orang golongan kiri umumnya akan dibersihkan oleh Pemerintah. Saya sudah pegang rencananya”. Ketika Slamet Widjaja minta supaya rencana pembersihan itu ditunjukkan kepadanya, Alip Hartojo mengatakan “Jangan disini Mas, onveilig (tidak aman). Di sana saja di Rumah Makan Mien Satu (Rumah Makan di muka Karesidenan Surakarta, di sebelah Barat prapatan Warungpelem). Nanti sebelum masuk rumahmakan, saya menunggu di prapatan Warungpelem. Saudara dari prapatan Warungpelem supaya pergi dulu menyamperi saudara Pardijo di rumahnya, di kampung Sudiropradjan. Sesudah itu nanti kita bertiga, maksudnya Widjaya, Pardijo dan Alip Hartojo, bersama-sama dari prapatan Warungpelem ke Rumah Makan Mien Satu”.
Ketika mereka bertiga bersama berada di tempat yang dimaksud, sejumlah prajurit terjun dari sebuah truk, Slamet Widjaja dan Pardijo diikat, dimasukkan dalam truk, dibawa ke pabrik gula Tasikmadu, di mana bermarkas sepasukan tentara. Tanggal 8 September 1948 jam 8 malam, Slamet Widjaja diambil oleh lima orang prajurit bersenjata dan dengan mata tertutup dibawa ke suatu tempat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan ditanyakan tentang susunan pengurus Seksi Comite PKI Solo dan formasi pimpinan FDR. Pada tanggal 24 September 1948 bersama dengan Letnan Kolonel Suharman dan Prodjosudodo, seorang perwira, oleh KMK di Solo diserahkan kepada KMK Jogja dan dimasukkan ke dalam kamp tahanan Danurejan. Selama dalam tahanan mereka diperiksa oleh orang dari Kejaksaan Agung. Slamet Widjaja, Pardijo dan lain-lainnya dalam penjara diperbolehkan berkirim dan menerima surat dari keluarga. Ketika para isteri dan anak-anak mereka berdemonstrasi ke Balai Kota mengajukan tuntutan, Walikota Sjamsuridjal menyatakan bahwa tidak tahu-menahu dan pemerintah tidak merencanakan penculikan-penculikan itu. (Lembaga 1965: IV/22)

7 September 1948, Musso, Amir Sjarifoeddin dan Setiadjid berada di Solo, ambil bagian dalam Kongres luar biasa Sarikat Buruh Gula (SBG). Kongres mendukung keputusan Presidium SOBSI 23 Agustus 1948, dehubungan dengan Jalan Baru yang ditempuh PKI.
8 September 1948, Musso dan sejumlah kawan lainnya berada di Madiun. Dalam satu rapat umum, Musso berpidato di depan massa mengenai masalah-masalah penting yang dihadapi revolusi nasional waktu itu. Di samping itu, diblejetinya pula usaha-usaha propaganda dalam dan luarnegeri yang memfitnah kaum komunis. Sebagaimana yang terjadi mereka mendiskreditkan kaum komunis di mata rakyat. Dengan gamblang Musso memaparkan garis umum PKI yang bertitik-tolak dari kepentingan pokok rakyat Indonesia, yang pada tingkat sekarang ini harus menyatukan semua kekuatan anti-imperialis dalam satu front nasional demi memenangkan perjuangan melawan kemungkinan agresi Belanda. Dia menekankan, bahwa program ekonomi kaum komunis Indonesia adalah sejalan dengan pasal 33 Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Demikian pula membantah fitnahan musuh-musuh komunis mengenai hubungan komunis dengan agama. Musso menyatakan, bahwa kaum komunis menghormati kaum beragama, bersama dengan mereka memperkuat perjuangan melawan Belanda. Dikemukakannya, bahwa jika penganut agama Islam tidak mau lagi diperbudak kembali, maka justru sekarang ini sudah tiba saat yang paling tepat untuk berjihad melakukan perang suci. Dengan tegas Musso membantah propaganda Pemerintah yang memfitnahnya, bahwa kedatangannya adalah “membawa instruksi dari Moskow”. Dikatakannya, bahwa politik kita dibangun atas dasar syarat-syarat kongkrit dan disesuaikan dengan ciri-ciri revolusi kita.
Rencana perjalanan Musso, bersama pemimpin-pemimpin PKI lainnya dalam bulan September memang sangat padat. 10-11 September Musso dan Amir Sjarifoeddin sudah berada di Kediri, 13 September di Jombang, 14 September di Bojonegoro, 16 September di Cepu, 17 September di Purwodadi.

11 September 1948 di Jogjakarta berlangsung rapat umum yang diselenggarakan oleh Masjoemi dan PNI. Resminya dinyatakan sebagai rapat anti-imperialisme, akan tetapi isinya ternyata anti-komunis. Di lapangan tempat rapat umum dibentangkan semboyan-semboyan “Kita tidak mau memihak Washington, maupun Moskow !” “Bung Hatta, jalankan politik ‘tangan besi’ !” (Antara 1948: 11 September).
Pada 16 September gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren diserbu oleh pasukan Siliwangi dengan menggunakan kedok Barisan Banteng. Berlangsunglah “pembersihan” dan pembunuhan sonder proses pengadilan. Daerah Solo berubah menjadi medan pertempuran. Panglima Besar Sudirman mengeluarkan order harian antara lain sebagai berikut: “Pada saat ini terjadi suatu peristiwa di Surakarta yang langsung menyinggung kedaulatan Angkatan Perang, yakni terculiknya anggota-anggota angkatan perang. Maka di sini kami tegaskan: Angkatan Perang supaya bulat bersatu terhadap pihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan kedaulatan negara, dan harus serentak menghadapinya”.(Buku Putih 1954: 13). Pada hari itu juga Perdana Menteri Hatta berpidato dalam sidang BP KNIP. Dan di depan kira-kira 500 wakil partai-partai politik dan organisasi massa, secara terbuka Hatta menyerang PKI, menuduhnya berusaha “melibatkan Republik Indonesia dalam pertentangan antara Rusia dan Amerika”. Pidaro Hatta merupakan sinyal bagi berlangsungnya kampanye anti-komunis secara besar-besaran. Pemerintah langsung ambil bagian dalam kampanye ini. 17 September 1948 Konferensi SBKA di gedung SOBSI, Tugu Jogjakarta, dikepung oleh pasukan-pasukan pemerintah dan pemimpin-pemimpin SBKA ditangkap.
Musso pada 14 September 1948 mau mengadakan ceramah di sositet Harmoni, Solo. Akan tetapi mengurungkannya, begitu mendengar keterangan-keterangan tentang yang terjadi di Solo. Musso yang sedang berada di Purwodadi mengirim kurir ke Solo, menanyakan keadaan di Solo, dan kurir itu dikirim kembali oleh Seksi Comite PKI Surakarta dengan membawa usul kepada Musso agar ceramah tidak dilanjutkan. “Rencana (Musso, Amir Sjarifoeddin, Wikana, dan Harjono) menetapkan untuk mengunjungi banyak kota-kota lainnya. Wonosobo ….. misalnya, akan harus mengadakan rapat umum di mana Musso berbicara pada 24 September. Kenyataan ini dicantumkan dalam laporan resmi kepada pemerintah pusat oleh Jawatan Penerangan Wonosobo” (Kahin 1952: 186).

13 September 1948, sebelum batas waktu ultimatum habis, yaitu pada pukul 12.30, mayor Sutarno, yang datang ke markas pihak lain di Srambatan dengan membawa tugas dari Divisi untuk mengadakan perundingan, ditembak tatkala turun dari truk, sehingga mayor Sutarno beserta beberapa orang pengawalnya tewas seketika. (Buku Putih, 1954: 11). Pukul 14.00 tepat, Divisi IV dan ALRI terpaksa memulai operasinya. Pukul 16.00 datang perintah dari pemerintah pusat supaya diadakan gencatan senjata.
15 September 1948, karena gencatan senjata tak mungkin dipatuhi oleh satu pihak saja sedang pihak yang lainnya terus-menerus melanggarnya, maka mulai pukul 18.00 Divisi Panembahan Senopati dibantu oleh ALRI memulai lagi operasinya. Sementara itu, pemerintah pusat terus mengirim balabantuannya kepada pihak yang lain.. (Dokumentasi SC PKI Surakarta …)
15 September 1948, “Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa tiap-tiap aksi komunis adalah bertentangan dengan ketenteraman umum dan jatuh dibawah perauran-peraturan hukuman, yang melindungi ketenteraman umum” (Keesings 1946-48: 7749).

Dalam sebuah interviunya kepada wartawan France Illustration, Van Mook menyatakan, bahwa “tetapi kita harus melakukan ini….bekerjasama dengan pemerintah Hatta…Kalau tidak, kita akan menyerahkan Indonesia tanpa perlawanan sedikitpun kepada kaum avonturir dan kaum komunis”.

16 September 1948, gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren, diserbu dan diduduki oleh kaum pengacau. Pertempuran di Solo menghebat. Pada hari itu juga, Panglima besar Sudirman mengeluarkan order harian, antara lain sebagai berikut: “Pada saat ini terjadi satu peristiwa di Surakarta yang langsung menyinggung kedaulatan Angkatan Perang. Maka di sini kami tegaskan: Angkatan Perang supaya bulat bersatu terhadap pihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan kedaulatan Negara, dan harus serentak menghadapinya”. Kepada Komandan CPM Jawa, Panglima Besar memerintahkan “ untuk mengusut dan menuntut tindakan tegas terhadap pasukan yang menyerang satuan Korps Reserve Umum pada 13 September 1948 yang lalu”. (Nasional 1948: 16 September).
17 September 1948 Politbiro CC PKI mengadakan sidang di Yogyakarta. Antara lain membicarakan soal pertempuran di Solo. Politbiro memutuskan untuk berusaha keras agar pertempuran di Solo dilokalisasi. Juga diputuskan mengutus anggota Politbiro Suripno, yang kebetulan akan berbicara di dalam rapat yang diselenggarakan oleh Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia di Madiun, untuk menyampaikan kepada Musso, Amir Sjarifoeddin dan anggota-anggota Politbiro lainnya yang sedang keliling Jawa, bahwa pertempuran di Solo harus dilokalisasi. (Dokumentasi Politbiro …). Pada hari itu juga, daerah Solo diumumkan dalam keadaan bahaya. Kolonel Gatot Subroto diangkat sebagai Gubernur Militer. (Lukisan Revolusi 1954: 366).

Pada 17 – 21 September 1948 di Washington berlangsung perundingan antara Menteri Luarnegeri Amerika Serikat Marshall dengan Menteri Luarnegeri Belanda Stikker. Menjawab pertanyaan wartawan mengenai perspektif perkembangan komunisme di Asia Tenggara, Stikker menyatakan: “Justru itulah yang sedang dibicarakan dengan Menteri Luarnegeri Marshall”.. Sambil menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap masalah itu, “dia menyatakan sebagai berikut: pertama, komunisme telah memperluas pengaruhnya di daerah yang dikuasai Belanda; dan di daerah Republik Indonesia; kedua, gerakan itu telah mengganggu negara-negara Barat untuk memperoleh bahan-bahan strategis dari Asia Tenggara, terutama dari Indonesia; ketiga sebagaimana Amerika Serikat mengakui bahaya kebangkitan komunis di Malaya. Maka Amerika harus mengetahui dengan tepat, bahwa kekuatan Belanda ditujukan untuk membasmi komunisme di Indonesia”. (Kyamilyev 1972: 210-211).

18 September 1948 Rapat CC PKI di Yogyakarta di Jalan Gondomanan, yang juga dihadiri oleh anggota Politbiro Maruto Darusman, Lukman dan Njoto, sesudah semua hadir, terpaksa dibubarkan, mengingat pengalaman konferensi SBKA (Dokumentasi SC PKI Jogjakarta ….). Pada hari itu, rombongan Musso, Amir Sjarifoeddin cs. tiba di Cepu, dalam rencana selanjutnya menuju ke Magelang dan Purworejo, meneruskan rapat-rapat umumnya. Suripno berangkat ke Madiun dengan keretaapi pagi dari Yogya (kebetulan bersama-sama domine Harahap yang kemudian juga menyaksikan sendiri mengenai apa saja yang sesungguhnya terjadi di Madiun).. Sementara itu keadaan di Madiun sejak beberapa waktu telah menjadi hangat, karena pasukan-pasukan yang dikirim langsung oleh pemerintah pusat menduduki pabrik-pabrik gula, mengadakan “latihan-latihan” sendiri sonder memberi tahu pasukan-pasukan TNI setempat, memukul buruh Balai Kota dan menembak mati seorang buruh keretaapi Madiun yang pagi-pagi berangkat menuju bengkel.

19 September 1948, mulai pukul 01.00 hingga 08.00, di Madiun, pasukan TNI setempat (Brigade 29) melucuti pasukan-pasukan yang dikirimkan pemerintah pusat dan pasukan Mobrig, suatu insiden yang bukan untuk pertama kalinya, bahkan sudah berkali-kali terjadi. Pada hari yang sama juga, di Kediri dilangsungkan Kongres PBI. Malamnya, membawakan suara Pemerintah Hatta, Presiden Sukarno mengucapkan pidato radio yang antara lain menyatakan: bahwa “Kemarin pagi PKI-Musso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di sana satu Pemerintahan Sovyet, di bawah pimpinan Musso”. Pidato itu langsung disusul oleh pidato Sultan Hamengku Buwono IX, yang menyerukan kepada penduduk untuk “secepat mungkin menghancurkan kaum pemberontak” (Antara 1948: 20 September).
Tanpa mengetahui duduk perkara sebelumnya, setelah Kongres mendengar pidato pemerintah yang diucapkan oleh Presiden Sukarno dengan begitu tiba-tiba, maka sesudah disahkan peleburan PBI ke dalam PKI, Kongres segera dibubarkan. Juga Kongres Partai Sosialis rencananya segera akan diadakan, sedangkan PKI sendiri akan mengadakan Kongresnya yang ke-V bertempat di Balai Ptajurit, Ngabean, Yogyakarta, pada awal Oktober.
19 September 1948, Tan Ling Djie, Sekretaris Jenderal II PKI, yang sedang menyiapkan pidato untuk sidang BP KNIP esok paginya, ditangkap di rumahnya di Jalan Dieng 1, Yogyakarta. Juga anggota Politbiro Abdoelmadjid ditangkap di Yogya, sementara itu Sekretaris Jendral III dan IV Maruto Darusman dan Ngadiman pun sedang berada di Yogyakarta (Buku Putih, 1954: 15). Terang benderang, bahwa tuduhan terjadinya “coup oleh PKI dan didirikannya Pemerintah Sovyet di bawah pimpinan Musso” adalah jelas tidak cocok dengan kenyataan. Ketika itu Musso tidak berada di Madiun, melainkan di Cepu, dalam perjalanan menuju Magelang dan Purworejo.

Peristiwa sebenarnya yang terjadi adalah: 19 September 1948, di Madiun, situasi keamanan dalam keadaan genting, oleh karena Residen ternyata sedang bepergian, pada hal harus ada yang bertanggungjawab atas keamanan di daerah itu, maka wakil walikota Madiun, Supardi, atas usul organisasi-organisasi rakyat diangkat sebagai pemangku Residen. Pengangkatan itu ditandatangani juga oleh komandan teritorial, overste Sumantri, wakil Residen, dan Walikota Purbo. Kemudian, Overste Sumantri, Isdharto dan Supardi, atas nama pemerintah daerah mengirim kawat kepada pemerintah pusat di Yogyakarta sebagai berikut: “Di Madiun terjadi pelucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas batalyon Siliwangi dan Mobrig, berhubung dengan kepergiannya kepala daerah dan Walikota sedang sakit, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi-instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul”.(Buku Putih … 1954: 16).

Pada 19 September 1948, pasukan polisi dan tentara daerah Yogyakarta menduduki semua kantor PKI, FDR, SOBSI. Juga percetakan tempat dicetaknya koran-koran Patriot, Buruh, Suara Ibukota, Revolusioner diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya. (Antara 1948: 20 September). Dalam waktu yang pendek di Yogyakarta telah ditahan tidak kurang dari 200 orang, termasuk Tan Ling Djie, Alimin, Abdoelmadjid, Djokosoedjono, Sakirman dan lain-lain (Brackman 1963: 94). Dimana-mana sebagai ganti plakat-plakat dan semboyajn-semboyan FDR yang sudah disobek, dipasang semboyan-semboyan: “Kita hanya mendukung Pemerintah Sukarno-Hatta !”.(Antara, 1948: 20 September). Menyusul penangkapan-penangkapan di Yogyakarta, para pemimpin PKI dan FDR mulai ditangkapi di Jombang, Kediri, Blitar, Magelang, Purworedjo, Pati, Cepu dan lain-lain. Di Magelang dilarang terbitnya harian Penghela Rakyat. Di Kediri, pasukan pemerintah melucuti senjata Brigade 29, yang umumnya anggotanya terdiri dari anggota Pesindo. Komandannya Overste Dahlan berhasil meloloskan diri dari penahanan dan pergi ke Madiun. (Antara 1948: 21 September).
20 September 1948, Perdana Menteri Hatta meminta BP KNIP memberikan kekuasaan penuh kepada Presiden selama waktu tiga bulan dengan alasan: “PKI Musso telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”… “Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifoeddin Perdana Menterinya”. (Hatta, 1948: Pedato 20-9-1948).Pada hari itu juga, dalam sidang BP KNIP itu hadir Mr Luat Siregar, anggota fraksi PKI, dan K.Werdojo, anggota fraksi Buruh, suatu hal yang mustahil terjadi sekiranya PKI punya rencana “memberontak”. Dalam sidang itu K. Werdojo menyatakan, bahwa “tidak setuju dengan rencana resolusi yang diajukan Pemerintah Hatta, karena tidak yakin, bahwa kejadian di Madiun adalah bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah. Dalam peristiwa ini, yang salah bukan hanya FDR. Banyak golongan lainnya juga melakukan kesalahan”.Keputusan diambil dengan 25 suara setuju, satu menentang. (Antara 1948: 21 September). Dan pada hari itu, Ketua Masjumi, Dr Sukiman dalam pedato radionya mengumumkan ‘perang sabil’ terhadap PKI. (Keesings 1946-1948: 7759.)
22 September 1948, Komandan Brigade, letnan-kolonel Suharto, datang dari Jogja untuk menyaksikan sendiri keadaan di Madiun. Ia kembali ke Jogja membawa surat-surat dari berbagai kepala Jawatan yang menyatakan bahwa keadaan di Madiun aman dan normal, dan ia juga membawa pesan dari Musso supaya diajukan sebagai usul kepada pemerintah pusat: 1. untuk mengakhiri pertempuran, dan bersama-sama melawan Belanda, 2. Program Nasional supaya dijadikan program pemerintah dan dasar untuk membentuk kabinet front nasional. (Bintang Merah 1951: 47-48). Pada hari itu juga, jenderal mayor Djokosujono mengadakan pedato radio di Madiun, dimana ia menyerukan kepada semua komandan TNI di Jawa Timur untuk menghindarkan perang saudara, dan untuk bersama-sama melawan Belanda. (Keesings 1946-1948: 7760).
23 September 1948, Amir Sjarifoeddin dimuka corong Radio Madiun mengatakan: “Perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak lebih tidak kurang daripada gerakan untuk mengoreksi jalannya revolusi. Maka itu dasarnya tetap sama dan tidak berobah. Revolusi menurut pendapat kita tetap berwatak nasional, yang dapat disebut revolusi burjuis demokratis. Konstitusi kita tetap sama; bendera kita tetap Merah Putih;sedang lagu kebangsaan kita tidak lain daripada Indonesia Raya”. (Harian Front Nasional 1948: 24 September). Pada hari yang sama, Menteri Agama, tokoh Masjumi, K.H.Masjkoer menyatakan, bahwa “perebutan kekuasaan oleh Musso di Madiun adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin dijalankan oleh musuh Republik”. Pimpinan Partai Masjumi menyerukan pada tanggal 24-9-1948 kepada segenap anggota untuk “mendukung Pemerintah dan membantu menindas pemberontak PKI Musso dan FDR serta membasmi pemberontak dan pengkhianat negara.” (Antara 1948: 20 dan 24 September).
25 September 1948, Sjahrir menerangkan, bahwa dia menganggap perspektif untuk perundingan dengan Belanda menjadi lebih baik. (Keesings 1946-1948: 7778.)
New York Herald Tribune, 26 September 1948 menulis, bahwa beberapa minggu yang lalu Tan Malaka dan pengikut-pengikutnya dilepaskan, untuk keperluan pembentukan suatu blok anti-Musso yang kuat di dalam Republik Indonesia. “Suatu provokasi dari trotskis Tan Malaka memberikan alasan kepada Pemerintah Jogja untuk melikwidasi elemen-elemen komunis dari Angkatan Perang”. (Vaillant 1951: 73.). Senafas dengan Prof. G.McT. Kahin, Prof. W.F.Wertheim menulis; “apa yang disebut pemberontakan komunis di Madiun, Jawa Timur, adalah mungkin tak lebih dan tak kurang dari provokasi yang dilakukan elemen-elemen anti-komunis.” (Wertheim, Prof. W.F. 1959: 83).
1 Oktober 1948, Menteri Penerangan Moh.Natsir menyatakan, bahwa Pemerintah Hatta akan lebih berorientasi ke negara-negara Barat dan khususnya Amerika, untuk mendapat bantuan. (Buku Putih 1954: 20).
Ketika terjadi pertempuran dan perlucutan senjata di kalangan tentara, dan ketika terjadi pengangkatan Supardi menjadi Residen sementara, Musso, Amir Sjarifoeddin, Harjono dan lain-lain tidak berada di Madiun. Pada waktu itu rombongan Musso sedang melaksanakan program perjalanan PKI dan sedang berada di Purwodadi. Rombongan Musso baru sampai di Madiun tanggal 19 September 1948 pagi hari. Setelah sampai di Madiun, Musso adalah salah seorang yang paling menyetujui kebijaksanaan pemerintah Madiun untuk dengan cepat memberi laporan dan meminta instruksi lebih lanjut kepada Pemerintah Pusat mengenai apa yang sudah terjadi di Madiun.

Setelah mendengar pedato Presiden Sukarno yang menyerukan pembasmian atas kaum komunis, maka Musso balas berpedato yang isi pokoknya: ”Sukarno memakai alasan-alasan palsu telah menuduh FDR dan PKI Musso sebagai tukang pengacau dan lain-lain. Lupakah Sukarno, bahwa dia di Solo telah memakai kaum pengkhianat Trotskis untuk melakukan penculikan-penculikan dan teror terhadap orang-orang komunis ?
Lupakah Sukarno cs, bahwa ia telah membantu dan mengesahkan kejahatan-kejahatan divisi Siliwangi dan kaum teroris itu ? Apakah maksud Sukarno cs. ex-pedagang romusha, telah melepaskan penjahat-penjahat Trotskis Tan Malaka cs yang telah mencoba merobohkan ke-Presidenannya ?
Dalam tiga tahun ini teranglah pula bahwa Sukarno-Hatta ex-romusha verkopers, Quislings telah menjalankan politik kapitulasi terhadap Belanda, Inggeris, dan sekarang juga akan menjual Indonesia dan rakyat pada imperialis Amerika” (Musso 1948, Pedato radio).

20 September 1948, Perdana Menteri Hatta berpidato di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, mengajukan permintaan kekuasaan penuh selama tiga bulan. Dalam pedatonya dikemukakan: “Seperti diketahui, PKI Musso telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di sana suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia. Sudah tersiar ucapan Soemarsono, yang bunyinya ‘dari Madiun mulai kemenangan’. Dan nyatalah bahwa pemberontakan ini bermaksud untuk merobohkan Pemerintah dan menguasai seluruh Republik. Tersiar pula berita, entah benar entah tidak, bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr Amir Sjarifoeddin Perdana Menterinya” (Hatta 1948: 20 September).
Dengan pedato ini Hatta, mengajukan usul agar BP KNIP memberi kuasa pada Pemerintah Undang-Undang Tentang Pemberian Kekuasaan Penuh Kepada Presiden Dalam Keadaan Bahaya. “Selama tiga bulan, terhitung mulai tanggal 15 September 1948 kepada Presiden diberikan kekuasaan penuh (plein pouvoir) untuk menjalankan tindakan-tindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan menyimpang dari Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya yang memuncak”.

24 September 1948 pasukan pemerintah menduduki dan membersihkan Sarangan. 25 September 1948 Tegal. 26 September 1948 Kementerian Pertahanan mengumumkan, bahwa seluruh daerah Jawa Timur termasuk Madura berada dibawah kontrol pasukan pemerintah. 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan pemerintah. Musso, Amir Sjarifoeddin dan sejumlah tokoh lainnya mundur dari Madiun ke darerah Dungus, 9 km dari Madiun dan ke Kandengan, 16 km dari Madiun. (Sin Po 1948: 1 Oktober) 28 Oktober 1948 rombongan terakhir sejumlah 1500 orang “pemberontak” ditangkap. 31 Oktober 1948 di Ponorogo, dalam satu pertempuran, Musso tertembak mati. 29 November 1948, di desa Penawangan, 19 km dari Purwodadi, Djokosoejono ditangkap bersama Maroeto Daroesman dan Sardjono. 1 Desember 1948 di desa Klambu, 20 km dari Purwodadi, dalam keadaan luka, Amir Sjarifoeddin ditangkap. Juga Suripno dan Harjono. 7 Desember 1948, Markas Besar TNI mengumumkan bahwa “sudah dihancurkan seluruh” kaum pemberontak dan ditangkap sebanyak 35.000 orang.

Sesudah ditahan beberapa waktu di Jogjakarta, maka Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawannya dikembalikan ke Solo dan dipenjarakan di sana. Dalam rapat kabinet tanggal 18 Desember 1948 dibicarakan tindakan yang akan diambil terhadap pemimpin-pemimpin PKI jika Belanda mengadakan agresi militernya. Hadir pada waktu itu hanya 12 orang Menteri. Dalam sidang tersebut, empat orang Menteri menghendaki agar Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawanya ditembak mati; empat orang lagi berpendapat supaya Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawanya dibebaskan (jangan ditembak); empat orang lainnya tidak memberikan suara.. Kemudian Presiden Sukarno keluar dengan vetonya, bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh ditembak. (Harahap 1971: 26). Tapi, 19 Desember 1948 malam, di kala Belanda mulai melancarkan agresi kolonialnya yang kedua, jam 23:30 telah dijalankan hukuman mati, atas sebelas tokoh PKI dan FDR dengan ditembak: Amir Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku di desa Ngaliyan, kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Keresidenan Surakarta. Eksekusi berlangsung tanpa proses pengadilan.

Dalam pembelaannya dimuka Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 24 Februari 1955, D.N.Aidit memaparkan peristiwa penembakan ini sebagai berikut: “Pada waktu itu kawan Amir Sjarifoeddin berpakaian piyama putih strip biru, celana hijau panjang, dan membawa buntelan sarung; kawan Maroeto Daroesman berpakaian jas coklat dan celana putih panjang; kawan Suripno berbaju kaos dan bersarung; kawan Oey Gee Hwat bercelana putih, kemeja putih dan jas putih yang sudah kotor; kawan lainnya yalah Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku.
Sambil menunggu lubang selesai digali, Kawan Amir Sjarifoeddin menanyakan kepada seorang kapten TNI yang ada disitu: Saya mau diapakan ?
Jawab kapten itu: Saya tentara, tunduk perintah, disipilin.
Setelah selesai lubang digali, orang-orang yang menggali disuruh pergi dan yang disuruh tinggal hanya 4 orang yang kemudian ternyata digunakan untuk menguruk lubang itu kembali.
Kemudian seorang letnan menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer kolonel Gatot Subroto mengenai pembunhan atas 11 orang itu.
Bung Amir menanykan antara lain: apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan-kawan saya ?
Letnan itu menjawab: Saya tinggal tunduk perintah.
Kawan Amir bicara lagi: Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih ?
Letnan: Tidak usah banyak bicara.
Kawan Djokosujono menyisip: Saya tidak menyalahkan saudara, tetapi dengan ini negara rugi.
Letnan memerintah anak buahnya supaya masing-masing mengisi bedilnya.
Kawan Amir menghampiri si Letnan, sebelum sampai ia terpeleset sedikit, sambil menepuk badan Letnan ia berkata: Beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar.
Letnan menjawab: Boleh, tapi cepat-cepat !
Kawan Suripno menyisip: Apa saya boleh mengirimkan surat untuk isteri saya, biar ia tahu.
Letnan: Ya tidak keberatan.
Kemudian kawan-kawan menulis surat. Sesudah selesai, surat-surat itu satu persatu diserahkan kepada Letnan.
Sesudah surat diserahkan, bersama-sama 11 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
Setelah selesai bernyanyi bung Amir menyerukan: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia ! Aku mati untukmu !
Kawan Suripno: Saya bela dengan jiwa saya, aku untukmu !
Kemudian mulailah kesebelas orang yang gagah berani itu ditembak satu persatu, dimulai dengan menembak kawan Amir Sjarifoeddin, kemudian kawan Maroeto Daroesman, Oey Gee Hwat, Djokosujono, dan seterusnya”: (Aidit 1955: 31-32.)

Harapan Amerika Serikat untuk membendung meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia terwujud. PKI, yang baru saja bangkit dalam gelora revolusi Agustus 1945, dengan satu peristiwa, yaitu “Peristiwa Madiun”, telah kehilangan seluruh pimpinan utamanya. Peristiwa ini bukanlah pelaksanaan program PKI. Tapi pelaksanaan DOKTRIN TRUMAN, “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang dilancarkan Amerika Serikat. Amerika berhasil mendapatkan dan menggunakan kekuatan anti-komunis Indonesia untuk membasmi kaum komunis Indonesia. Dengan demikian, PKI telah menjadi korban perdana PERANG DINGIN di Asia, jauh mendahului Perang Korea dan Perang Vietnam, yang dikobarkan Amerika demi membendung komunisme.

Peristiwa Madiun adalah pembasmian berencana, teror atas kaum komunis Indonesia. Inilah realisasi the policy of containment, politik pembasmian komunisme sejagat, realisasi Doktrin Truman di Indonesia seusai Perang Dunia kedua.

Secara terperinci, proses Peristiwa Madiun diuraikan dalam buku Soemarsono terbitan Hasta Mitra 2008, berjudul REVOLUSI AGUSTUS – Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog